TfC0Tpd7Tpd5GUC9TfA0BUr7BY==

Kajial Lengkap Tabarruk (Ngalap Berkah) dalam Ahlussunnah Wal Jamaah

TABARRUK

Tabarruk dalam bahasa Arab adalah lafazh yang mengikuti wazan al-Tafa’ul dan artinya adalalah Iltimâsul barokah (meminta barokah). 

al-Barokah secara etimologi artinya adalah al-Ziyadah Wal-Nama` Wal-Ittisa` (bertambah, berkembang, dan luas). al-Barokah secara terminologi diartikan sebagai: Katsrotul Khoir wa Tsubûtihi (melimpah dan terus-menerusnya kebaikan), atau Tsubutul Khoir al-Ilahiy fi al-Syai` (tetapnya kebaikan dari Tuhan didalam sesuatu) dan ada pula yang mengartikan: Hulul al-Khoirِ (merasuknya kebaikan).

Dari definisi diatas dapat kita ketahui bahwa tabarruk adalah memohon datangnya tambahan kebaikan (stimulasi) dari Allah  dengan perantara al-Mutabarrok bihi (yang di alap barokah). Permohonan ini murni dipanjatkan kepada Allah  semata, sedangkan al-Mutabarrok bihi hanya sekedar media saja. Dari sini juga kita ketahui bahwa tabarruk adalah salah satu bentuk tawassul kepada Allah  dengan al-Mutabarrok bihi (sesuatu atau seseorang yang di-mintai barokah). Wujud dari al-Mutabarrok bihi ini bisa berupa sesuatu yang memiliki keistimewaan di hadapan Allah, ataupun tempat-tempat yang mempunyai keistimewaan tersendiri. Tabarruk ini adalah salah satu cara dalam memanjatkan do`a/ permohonan kepada Allah . 

Seorang yang melakukan tabarruk sama sekali tidak bisa disebut sebagai orang yang berdo`a (memohon) ataupun beribadah (menyembah) kepada selain Allah . Karena sebenarnya yang dimaksud dan yang dimintai untuk mendatangkan kemanfaatan atau menghilangkan marabahaya adalah Allah  saja, bukan yang di mintai barokah. Ia sekedar media kita dalam berdo`a dan mendekatkan diri kepada Allah . Begitupun yang kita ucapkan untuk orang yang bertawassul. Yang biasanya al-Tawassul ini berbentuk suatu shighat yang diucapkan seperti contoh:

الَّلهُمّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الَّرْحَمِة . يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أََتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيُجْلِي لِي عَنْ بَصَرِيْ. الَّلهُمّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ فِى نَفْسِي

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku ber-tawajjuh kepada-Mu dengan (perantara) Nabi Muhammad , Nabi (pembawa) Rohmat. Hai Muhammad, sesungguhnya dengan (perantara)mu aku bertawajjuh pada Robb-mu, maka Ia akan menjernihkan penglihatanku. Ya Allah, jadikanlah beliau orang yang diterima syafa`atnya untukku dan jadikanlah aku orang yang diterima syafa`atnya untuk diriku sendiri.”

Sedangkan tabarruk biasanya terkonstruk berupa suatu pekerjaan yang diimplementasikan tanpa ada ucapan apapun, misalnya: menggosok-gosokkan dahak Nabi Muhammad  pada muka dan kulit badan orang yang meminta barokah. Disamping itu, tabarruk adalah salah satu bentuk dari tawassul, karena sebenarnya apa yang dilakukan oleh orang yang melakukan tabarruk itu senada dengan kalimat do`a, semisal: Ya Allah...aku memohon kebaikan dari-Mu dengan wasilah keagungan pemilik dahak ini disisi-Mu, atau kalimat lainnya. Tidakkah telah masyhur bahwa perbuatan lebih keras daripada kata-kata ? Lisanul hal afdholu min lisani al-maqol. 

Dalam permasalahan tabarruk ini al-Mutabarrik (orang yang ngalap barokah ) dan al-Mutabarok bihi (yang dimintai barokah), keduanya saling berkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya kami uraikan sebagai berikut:

a) al- Mutabarrik (orang yang ngalap barokah)

Seperti yang telah dikemukakan didepan, tujuan sesungguhnya dalam permohonan adalah Allah  semata. al-Mutabrrik sama sekali tidak meyakini bahwa orang yang dimintai barokah punya andil dalam mengabulkan do`a, memberikan manfaat, menjauhkan ataupun mendatangkan marabahaya.. 

 Dalam al-Qur`an telah dijelaskan:

قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا إِلاَّ مَا شَاء اللهُ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَلاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ (يونس: 49).

Katakanlah: ”Aku tidak berkuasa mendatangkan marabahaya dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diri-Ku, melainkan apa yang dikehendaki Allah.” Tiap-tiap umat mempunyai ajal . Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(Nya).” (QS. Yunus: 49).

Semua muslimin termasuk warga Nahdliyyin menyakini bahwa abilitas dalam memberikan manfaat dan menjauhkan dari marabahaya hanya milik Allah semata. Mekanisme ngalap barokah pada tempat–tempat yang memiliki keistimewaan ini adalah dengan ber-tawajjuh, berdo`a, membaca Istighfar kepada Allah  dan juga dengan mengingat history tempat-tempat tersebut, untuk menumbuhkan semangat dan kecintaan kepada ulama salaf shalih. 

Dalam hadits dijelaskan:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ » (رواه أبى داود- 4033)

Diriwayatkan dari Ibni Umar, dia berkata: ”Rasulullah  berkata: Barangsiapa yang menyerupai dengan kaum (golongan) maka orang tersebut termasuk golongan kaum tersebut”. (HR. Abi Dâwud: 4033).


Perlu digaris bawahi, sedikitpun dalam permasalahan disini kami tidak mengatakan bahwa Nabi atau wali yang dimintai berkah dapat mendatangkan ijabah atas do`a kita. Kami warga Nahdliyyin menyakini bahwa ijabah itu adalah hak Allah  sepenuhnya yang tidak akan terpengaruhi apapun. Akan tetapi tawassul, tabarruk dan taqorrub yang kita lakukan menjadi sebab kita dalam memanjatkan do`a (permohonan) pada Allah . Allah-lah yang menjalankan sunnah-Nya berjalan diatas sebab-sebab yang Dia tentukan, dan Dialah musabbibul asbab (pencipta perantara dan yang menghendakinya menjadi perantara).

Dari uraian diatas dapat kita ketahui dengan seksama akan kegegabahannya pemahaman Afrokhi yang mengatakan bahwa tabarruk adalah suatu bentuk tindakan syirik sekaligus membantah tuduhan yang dilontarkan Afrokhi kepada orang yang melakukan tabarruk. Sekarang nyata dan jelaslah bahwa pendapat Afrokhi adalah ketidakpahaman tentang makna tabarruk. Bagaimana bisa orang yang memohon dengan ikhlas kepada Allah  dengan disertai kecintaan dan ta`zhim pada hal-hal yang dicinta dan diagungkan oleh Allah  dihukumi syirik.Wallahu ‘Alamu Bisshowab.

b) al-Mutabarrok Bihi (yang di mintai barokah)

Telah disampaikan didepan bahwasanya orang yang dimintai barokah ini bisa berupa sosok yang memiliki keistimewaan (al-dzawat al-fadlilah) seperti halnya para Nabi dan orang-orang shalih baik tatkala masih hidup ataupun setelah wafat, bekas ataupun tempat-tempat yang memiliki keistimewaan. Syarat orang yang dimintai barokah adalah segala hal yang mempunyai nilai lebih dihadapan Allah  (dicintai/diagungkan oleh Allah ). Sedangkan amaliah ngalap barokah dengan atsar (bekas) itu tidak lain karena atsar tersebut mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan orang yang dimintai barokah tersebut. Tempat-tempat yang mempunyai keistimewaan pada dasarnya tidak ada nilai lebihnya, akan tetapi suatu tempat bisa memiliki keistimewaan disebabkan turunnya rahmat pada tempat tersebut. misalnya digunakan shalat oleh seorang Nabi atau wali. 

Alhasil, dari apa yang telah kami uraikan diatas dapat kita simpulkan bahwa amaliah yang dilakukan oleh warga Nahdliyyin semisal tabarruk adalah amaliah yang sangat dianjurkan oleh syari`at, karena tabarruk adalah suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah . Dengan demikian, dapat kita ketahui dengan jelas bahwa pemahaman ”tabarruk adalah suatu bentuk tindakan syirik” adalah sebuah kesalahan. Seperti Afrokhi yang telah berani mengatakan bahwa amaliah tabarruk merupakan salah satu perbuatan syirik.

Dalil Tabarruk

Berikut ini kami akan menyampaikan sedikit tentang dalil amalan al-tabarruk (amalan ngalap barokah) baik waktu Nabi masih hidup maupun ketika sudah wafat. 

1. Dalil-dalil tabarruk ketika Nabi masih hidup

a. Tabarruk dengan dahak Nabi Muhammad 

قَالَ عُرْوَةُ عَنْ اْلِمْسَوِر وَمَرْوَانَ خَرَجَ الَّنِبُّي صلى الله عليه و سلم زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ فَذَكَرَ اْلَحِدْيَث وَ مَا تَنَخَّمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم نُخَامَةً إِلاَّ وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَّكَ بِهَا وَجْهَهُ (رواه البخاري -2581). 

‘Urwah Berkata: “Ketika Nabi keluar waktu perang hudaibiyyah beliau dahak sehingga menempel diatas tangan seorang laki-laki dari para shahabat, lalu laki-laki tersebut mengusapkan bekas dahak Nabi kewajahnya.(HR. Bukhari 2581).

b. Tabarruk dengan keringat Nabi Muhammad 

عَنْ أنَسٍ: أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ كاَنَتْ تَبْسُطُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم نَطْعًا فَيَقِيْلُ عِنْدَهَا عَلىَ ذَلِكَ الْنَّطْعِ قَالَ فَإِذاَ نَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَخَذَتْ مِنْ عِرْقِهِ وَشَعْرِهِ فَجَمَعْتُه فِي قَارُوْرَةٍ ثُمَّ جَمَعَتْهُ فِي سِكٍّ قَالَ فَلَمَّا حَضَرَ أَنَسٌ بْنُ مَالِكِ اَلْوَفَاةَ أَوْصَى إَلَي أَنْ يُجْعَلَ فِي حُنُوْطِهِ مِنْ ذَلِكَ السِّكِ قِالَ فَجَعَلَ فِي حُنًوْطِهِ )رواه البخاري 5925 .(

“Dari Anas  bahwa ummu Sulaim mempersiapkan alas tidur untuk istirahat Nabi sementara dan setelah Nabi tidur ummu Sulaim mengambil keringat serta rambut beliau dan mengumpulkannya di dalam satu tempat yang terdapat wewangian. Ketika shahabat Anas bin Malik wafat ia pernah berwasiat kepadaku supaya memberikan wewangian tersebut pada kainnya.” (HR. Bukhari: 5925)

2. Dalil Tabarruk Setelah Nabi Muhammad Wafat

a. Tabarruk dengan rambut Nabi Muhammad 

عَنْ عثمان بن عبد الله بن موهب أَرْسَلَنِي أَهْلِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ وَقَبَضَ إِسْرَائِيلُ ثَلَاثَ أَصَابِعَ مِنْ قُصَّةٍ فِيهِ شَعَرٌ مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ وَكَانَ إِذَا أَصَابَ الْإِنْسَانَ عَيْنٌ أَوْ شَيْءٌ بَعَثَ إِلَيْهَا مِخْضَبَهُ فَاطَّلَعْتُ فِي الْجُلْجُلِ فَرَأَيْتُ شَعَرَاتٍ حُمْرً (رواه البخاري: 5557) .

Diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Abdillah bin Mauhab, dia berkata: “istriku mengirimku pada Ummi Salamah dengan membawa sebuah wadah air yang dilapisi dengan perak.” (Israil –rawi hadits yaitu Ibn Yunus bin Abi Ishaq al-sabi’i- menggenggam tiga jarinya) didalam wadah tersebut terdapat rambut Rasulullah  dan memang sudah menjadi kebiasaan warga setempat apabila tertimpa musibah semisal sakit maka ia akan mengirim bejana (wadah air) kepada Ummi Salama, kemudian aku melempar pandangan kedalam bejana tersebut dan aku melihat beberapa rambut berwarna merah.” (HR. Bukhari: 5557).

Dalam hal ini kita juga menemukan riwayat bahwa Nabi Muhammad  menyuruh Abu Tholhah al-Anshari untuk membagi-bagikan potongan rambutnya yang mulia kepada para shahabat-shahabatnya yang tujuannya jelas bukan untuk dikonsumsi melainkan untuk tabarruk.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَمَّا رَمَى رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم- الْجَمْرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ وَحَلَقَ نَاوَلَ الْحَالِقَ شِقَّهُ الأَيْمَنَ فَحَلَقَهُ ثُمَّ دَعَا أَبَا طَلْحَةَ الأَنْصَارِىَّ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ ثُمَّ نَاوَلَهُ الشِّقَّ الأَيْسَرَ فَقَالَ « احْلِقْ ». فَحَلَقَهُ فَأَعْطَاهُ أَبَا طَلْحَةَ فَقَالَ « اقْسِمْهُ بَيْنَ النَّاسِ ». )رواه مسلم -3215).

Anas Bin Malik Berkata: “ketika Nabi melempar jamrah menjalankan ibadah haji memotong rambut beliau mengarakan bagian kanan pada orang yang memotong”, lalu orang tersebut memotongnya, lalu Nabi memanggil abi tholhah al-anshory dan memberikan potongan rambut kepadanya, setelah itu Nabi mengarahkan posisi kiri dan berkata: “potonglah” lalu tukang pangkas tersebut memotongnya dan memberikan kepada abi tholhah Nabi berkata: “bagikanlah potongan rambut ini pada orang lain.” (Shohih Muslim-3215).

b. Tabarruk kepada kuburan orang shalih.

وَقَدْ ذَكَرَ اَلْحَافِظُ اَلْجَزَرِيْ وَهُوَ شَيْخُ اْلُقَّراِء وَكاَنَ مِنْ حُفَّاظِ الْحَدِيْثِ فِي كِتَابِ لَهُ يُسَمَّى اَلْحِصْنَ اْلَحَصِيْنَ وَكَذَلِكَ ذَكَرَ فِي مُخْتَصَرِهِ قَالَ مِنْ مَوَاضِعِ اِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُورُ الصَّالِحِيْنَ اهـ (الشرح القويم في حل الفاظ الصراط المستقيم).

“Al-Hafidz al-Jazari guru para Qori` dan termasuk golongan Hafidz hadits menerangkan dalam kitabnya al-Hishn al-Hashin dan Mukhtasharnya: salah satu tempat yang mujabah untuk berdo’a adalah makam orang-orang shalih.” (al-Syarh al-Qowim).

Dengan perincian dalil-dalil diatas bisa memperkuat dan memantapkan argumentasi akan diperbolehkannya bertabarruk kepada Nabi atau wali, baik sebelum wafat atau sesudahnya. Perincian dalil-dalil diatas sekaligus melemahkan dan mementahkan pernyataan Afrokhi dalam bukunya halaman 163. Ia mengatakan: “Ada tiga hal yang ditentukan oleh Islam berkenaan dengan hal-hal yang mengandung keberkahan. Pertama dengan tempat (shalat di Masjidil haram) kedua waktu (berdo`a ketika menjelang subuh) dan ketiga dztatiyah Nabi”. 

Sungguh aneh Afrokhi ini. Bagaimana mungkin amaliah yang telah diperbolehkan sejak masa Nabi sampai sekarang ia katakan syirik. Dengan melihat sebelah mata tanpa menggunakan mata hatinya ia mengatakan bahwa amalan ngalap barokah kepada dzatiyah kyai, orang shalih sampai gus termasuk syirik. Pernyataan tersebut hanyalah pembodohan terhadap umat Islam semuanya.

3. Penjelasan Ulama

Setelah kita ketahui sedikit uraian tentang tabarruk, mari kita melihat pendapat ulama yang otoritatif seputar amaliah ini:

1. al-Imam Malik bin Anas 

al-Imam Malik bin Anas al-Ashbahi (95-179 H/713-795 M). seorang mujtahid, pakar hadits dan pendiri madzhab Maliki menyuruh tabarruk.

حدثنا ِابْنُ حُمَيْدٍ قَالَ نَاظَرَ أَبُوْ جَعْفَرٍ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ مَاِلكًا فِي مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ لَهُ مَالِكٌ: يَا أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ لاَ تَرْفَعْ صَوْتَكَ فِي هَذَا اْلمَسْجِدِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى أَدَّبَ قَوْمًا فَقَالَ: لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ لا تَشْعُرُونَ )سورة الحجرات: 2 (و مَدَحَ قَوْمًا فَقَالَ: {إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِندَ رَسُولِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ} )سورة الحجرات: 3 (وَذَمَّ قَوْمًا فَقَالَ: {إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِن وَرَاء الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ})سورة الحجرات: 4 (وَ إِنَّ حُرْمَتَهُ كَحُرْمَتِهِ حَيًّا  فَاسْتَكَانَ لهَاَ أَبُوْ جَعْفَرٍ وَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ أَأَسْتَقْبِلُ اَلْقِبْلَةَ وَ أَدْعُوا أَمْ أَسْتَقْبِلُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ؟ فَقَالَ: وَ لِمَ تُصْرِفُ وَجْهَكَ عَنْهُ وَهُوَ وَسِيْلَتُكَ وَ وَسِيْلَةُ أَبِيْكَ آدمَ عليه السلام إِلىَ اللهِ تَعَالَى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ ؟ بَلْ اِسْتَقْبِلْهُ وَ اسْتَشْفَعْ بِهِ فَيَشْفَعُكَ اللهُ قَالَ اللهُ تعالى: {وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا } )سورة النساء: 64( )الشفا: فصل في تعظيم النبي بعد موته ج 2/ص 35 .(

Ibn Humaid berkata: Suatau ketika Abu Ja`far seorang Amirul Mukminin berdebat dengan Imam Malik di masjid Rasulullah .Imam Malik berkata:”Wahai amirul mukminin, janganlah kamu keraskan suaramu di masjid ini, sebab Allah telah memberikan tatacara. Allah berfirman: ‘Janganlah kamu sekalian mengeraskan suara diatas suaranya Nabi dan janganlah kamu keraskan pembicaraanmu seperti kamu berbicara dengan selain Nabi, niscaya amal kamu akan lebur dan kamu tidak mengetahuinya.’ (QS. Al-Hujurat: 2). Allah juga memuji: ‘Sesungguhnya orang-orang yang mengecilkan suaranya di samping Nabi mereka adalah orang-orang yang mendapatkan cobaan dari Allah supaya takwa dan Allah memberikan untuknya pengampunan dan pahala yang agung.’ (QS. Al Hujurat: 3). Allah juga mencela: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.’ (QS. Al Hujurat: 4). Sesungguhnya kemuliaan Nabi ketika wafat sama seperti halnya waktu beliau masih hidup. Lantas Abu Ja`far diam dan berkata “Wahai Malik apakah aku harus menghadap kiblat dan berdo`a atau aku menghadap Rasulullah ? Imam Malik berkata:”lantas kenapa kamu memalingkan wajahmu dari Nabi padahal beliau adalah perantaramu dan perantara bapakmu” (Nabi Adam as.) kelak di hari Qiyamat ? kamu menghadaplah kepada Nabi dan mintalah pertolongan padanya, maka Allah akan memberikan pertolongan padamu. Allah berfirma : ‘Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’ (QS. An-Nisa`: 64). ( al-Syifâ 2/35 ).

Hal senada juga dijelaskan dalam Syarh al-Qowim Fi Hilli Alfadi al-Shirot al-Mustaqim sebagai berikut:

وَقَدْ قَالَ اَلْحَافِظُ تَقِيُّ الدِّيْنِ اَلُّسْبكِي فِي شِفاَءِ السَّقَامِ: اَلْاِسْتِشْفَاعُ وَالَّتوَسُّلُ وَالتَّوَجُّهُ وَالَّتجَوُّهُ وَالْاِسْتِغَاثَةُ وَالْاِسْتِعَانَةُ ِبَمَعْنًى وَاحِدٍ وَالتَقِيُّ الَسُّبْكِيُّ مُحَدِّثٌ حَافِظٌ فَقِيْهٌ لُغَوِيٌ كَمَا وَصَفَهُ بِذَلِكَ اَلسُّيُوْطِيُّ فِي الذَّيْلِ (الشرح القويم في حل الفاظ الصراط المستقيم ص| 378 ).

“al-Hafidz Taqiyyuddin al-Subki dalam kitab Syifa Al Saqom Berkata:’Meminta pertolongan, tawassul, tawajjuh, istighotsah, isti’anah adalah satu arti.’ Imam Taqiyyudin al subky adalah al hafidz faqih ahli lughat seperti yang dijelaskan oleh al Suyuthi dalam kitab al Dzail.” ( al Syarh al Qowim Fi Hilli Alfadi al Shirot al Mustaqim 1 /378 ).

2. al-Imam al-Syafi`i juga Tabarruk.

Al-Imam Abu Abdillah bin Idris al-Syafi’i( 150-204 H /767-819 ). Seorang mujtahid, pendiri madzhab Syafi’i, panutan Ahlussunnah Wal-Jama`ah juga bertabarruk:

نَبَّأَنَا عَلِيُّ بْنُ مَيْمُوْنَ قَالَ سَمِعْتُ اَلَّشافِعِيَّ يَقُوْلُ اِنِّي لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهُ فِي كُلِّ يَوْمٍ يَعْنِي زَائِرًا فَإِذَا عَرِضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسََأْلْتُ اللهَ تَعَالَى اَلْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعَدُ عَنِّي حَتَّى تُقْضَى (تاريخ بغداد - ج 1 / ص 123).

 ‘Ali bin Maimun berkata aku mendengar al-Syafi’i berkata sesungguhnya aku ber-tabarruk dengan (perantara) Imam Abi Hanifah dan aku ziarah makam beliau setiap hari. Apabila aku mempunyai suatu hajat maka aku shalat dua raka’at, ziarah makam beliau dan di dekat makam beliau aku memohon pada Allah atas hajatku, maka hajatku terkabul sebelum aku pergi jauh dari makam beliau (terkabul dengan cepat).’ ( Târîkh al-Baghdâd 1: 123).   

3. al-Imam Ahmad Ibn Hanbal.

al-Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/781-855 M). Seorang pakar hadits, mujtahid, Faqih, pendiri madzhab Hanbal yang diam-diam diikuti oleh orang Wahhabi. Beliau juga melakukan tabarruk. Ini bisa kita buktikan dalam salah satu kitab Tarikh Islam karya Imam al-Dzahabi.


قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ: رَأَيْتُ أَبِي يَأْخُذُ شَعْرَةً مِنْ شَعْرِ النَّبِيَِ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُهَا عَلَى فِيْهِ يُقَبِّلُهَا، وَأَحْسَبُ أَنِّي رَأَيْتُهُ يَضَعُهَا عَلىَ عَيْنِهِ وَيَغْمَسُهَا فِي اْلمَاءِ وَيَشْرِبُهُ يُسْتَشْفَي بِهِ. وَرَأَيْتُهُ قَدْ أَخَذَ قِصْعَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَغَسَلَهَا فِي جَبِّ الْمَاءِ، ثُمَّ شَرِبَ فِيْهَا. (تاريخ الإسلام للإمام الذهبي -ج 18 / ص 80).

 “Abdillah bin Ahmad berkata aku melihat bapakku (Imam Ahmad Bin Hanbal) mengambil sehelai rambut dari rambut Nabi Muhammad  dan bapakku meletakkannya diatas mulut beliau dan menciumnya, dan aku menyangka beliau juga meletakkannya diatas kedua mata beliau dan menenggelamkannya kedalam air kemudian meminum air tersebut dalam rangka memohon berkah kesembuhan dengan lantaran rambut Nabi Muhammad  tersebut. Dan aku juga melihat beliau mengambil mangkok Nabi Muhammmad  dan membasuhnya didalam kubangan air kemudian beliau meminum dari dalam mangkok tersebut.” (Târîkh Islam Imam al-Dzahabi 18 /80).

4. al-Imam al-Nawawi 

al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi  ( 631 -676/1234-1277 ). Seorang Hafidz. Faqih yang pernah disanjung oleh Ibn Malik dalam bait al-Fiyahnya dan penganut madzhab Syafi’i, juga menjelaskan bolehnya tabarruk, beliau berkata dalam kitab Syarh Muslim. 

قَْوُلهُ ( فَأَغْمَى عَلَىَّ فَتَوضَأَ ثُمَّ صَبَّ عَلىَّ مِنْ وَضُوْئِهِ فَأَفَقْتُ ) اَلْوَضُوْءُ هُنَا بِفَتْحِ اْلَوَاوِ اَلْمَاءُ اَلّذِي يُتَوَضَّأُ بِهِ وَفِيْهِ اَلتَّبَرُّكُ بِآثَارِ الصَّالِحِيْنَ وَفَضْلُ طَعَامِهِمْ وَشَرَابِهِمْ وَنَحْوِهَما وَفَضْلُ مَؤَاكَلَتِهِمْ وَمُشَارَبَتِهِمْ وَنَحْوُ ذَلِكَ وَفِيْهِ ظُُوْرُ آثَارِ َبَرَكَةِ رَسُوِل اللهِ صلى الله عليه و سلم (شرح النووي على مسلم - ج 11 / ص 55).

Al wadu’ dibaca fathah wawunya adalah air yang dipakai wudlu Nabi. Dalam hadits diatas menunjukkan ngalap barokah dengan atsar orang orang shalih keutamaan makan dan minum bersama mereka. Dan juga di dalamnya terdapat astarnya barokah Nabi (Syarh al-Nawawi ‘Ala Muslim  11/55).

5. al-Hafidz Ibnu Hajar 

Nama lengkap beliau adalah Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad Bin ‘Ali Bin Muhamad Bin Muhama Bin ‘Ali al ‘Asqolani (773-852 H/ 1372-1448 M). Seorang pakar hadits yang bergelar al-Hafidz (gelar dalam satu disiplin ilmu hadits), menjelaskan:

)قَوْلُهُ بَابُ الْمَسَاجِدِ اَلَّتِي عَلَى طُرُِ الْمَدِيْنَةِ (  وَمُحَصَّلُ ذَلِكَ أَنَّ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَتَبَرَّكُ بِتِلْكَ الْأَمَاكِنِ وَتُشَدِّدُهُ فِي الْاِتِّبَاعِ مَشْهُوْرٌ وَلاَ يُعَارِضُ ذَلِكَ مَا ثَبَتَ عَنْ َأِبْيِه أَنَّهُ رَأَى اَلَّناَس فِي سَفَرٍ يَتَبَادَرُوْنَ إِلَى مَكاَنٍ فَسَالَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا قَدْ صَلَّى فِيْهِ اَلَّنِبُّي صلى الله عليه و سلم فَقَالَ مَنْ عَرِضَتْ لَهُ اَلصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ وَإِلاَّ فَلْيَمْضِ فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ اْلِكتَابِ لِأَنَّهُمْ تَتْبَعُوا آثاَرَ أَنْبِيَائِهِمْ فاَتَّخَذُوْهَا كَنَائِسَ وَبُيَعًا لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ عُمَرَ مَحْمُوْلٌ عَلىَ أَنَّهُ كُرِهَ زِيَارَتُهُْ لِمِثْلِ ذلِكَ بِغَيْرِ صَلَاٍة أَوْ خُشِيَ أَنْ يُشْكِلَ ذَلِكَ عَلَى مَنْ لاَ يَعْرِفُ حَقِيْقَةَ الْأَمْرِ فَيَظُنُّهُ وَاجِبًا وَكِلاَ اْلأَمْرَيْنِ مَأْمُوْنٌ مِنْ بْنِ عُمَرَ وَقَدْ تَقَدَّمَ حَدِيْثُ عُتْبَانَ وَسُؤَالِهِ الَّنِبَّي صلى الله عليه و سلم أَنْ يُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ لِيَتَّخِذُهُ مُصَلًّى وَأَجَابَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إلَى ذَلِكَ فَهُوَ حُجَّةٌ فِي التَّبَرُّكِ بِآثارِ الصَّالِحِيْنَ )فتح الباري ابن حجر - (ج 1 / ص 569) .

Kesimpulan dari penjelasan adalah “bahwa Ibn Umar bertabarruk dengan tempat-tempat tersebut (masjid-masjid yang ada di jalan ) dan banyak dari kalangan orang yang masyhur menekankan untuk mengikuti. Dan juga perbuatan itu tidak berseberangan dengan yang telah ada pada Sayyidina Umar ketika ia melihat banyak manusia di perjalanan bergegas menuju suatu tempat dan jurang mereka berkata tempat ini pernah dibuat shalat oleh Rasulullah . Umar berkata :jika kamu ingin menghendaki shalat silahkan shalat jika tidak maka teruskanlah perjalanan sebab ahli kitab juga mengambil atsar para Nabinya dan menjadikannya tempat peribadatan (gereja gereja). Penjelasan ini dari Umar dan penjelasan ini diarahkan kepada hukum makruh ziarah para Nabi karena ada tujuan tadi (juga mengambil atsar para Nabinya dan menjadikan tempat peribadatan (gereja gereja) dengan tanpa disertai shalat atau umar mengkhawatirkan bagi orang yang tidak tahu bahwa tindakan tersebut adalah wajib. Dua alasan ini disampaikan oleh Ibn Umar . Ini juga sesuai hadits yang menjelaskan shahabat U’tban ketika beliau meminta Nabi untuk shalat dirumahnya karena akan dijadikan mushola setelah itu Nabi melakukan permintaan ‘Utban dan hadits hadits lainnya yang mana hadits ini merupakan hujjah atas diperbolehkannya tabarruk dengan atsar orang-orang shalih.” (Fath al- Bâri 1/569 )

Penjelasan Ibn Hajar al-`Asqolani dalam Fath al-Bari ini memperbolehkan tabarruk dengan atsar orang shalih yang berlandaskan tindakan yang dilakukan oleh Sayyidina Umar. Sekaligus ketegasan Ibn Hajar tersebut sungguh menunjukkan bahwa Afrokhi ngawur dalam memahami atsar para shahabat. Sebab dalam bukunya, Afrokhi menyampaikan riwayat tentang Sayyidina ‘Umar Ibn al-Khoththob  ini, dan menggunakannya sebagai salah satu dasar dalam menilai sesat amaliah tabarruk warga Nahdliyyin.

Penjelasan Ibn Hajar al-`Asqolani dalam Fath al-Bari diatas telah terdapat suatu perbedaan pandangan dengan Afrokhi dalam menyikapi penggalian makna dari apa yang dilakukan Sayyidina ‘Umar Ibn al-Khattab  tersebut. Lantas dimanakah kedudukan Afrokhi dibanding Ibn Hajar al-‘Asqolani dalam memahami maksud Sayyidina ‘Umar Ibn al-Khattab  tersebut? Apakah semua itu dilakukan oleh Sayyidina ‘Umar Ibn al-Khattab  karena beliau  anti tabarrukan atau bahkan menganggap tabarruk sebagai perbuatan yang sesat, seperti yang dipaham Afrokhi? سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ. 

Kalau memang Sayyidina Umar Ibn al-Khattab  anti tawassul dan tabarruk lantas mengapa beliau sendiri melakukannya? Kami mengatakan bahwa beliau melakukan tabarruk dengan berlandaskan pada kegemaran beliau  memelihara peninggalan Rasulullah , dan kami yakin beliau  gemar memelihara peninggalan Rasulullah  bukan sekedar sebagai koleksi seperti yang dilakukan orang-orang yang suka mengoleksi barang antik, akan tetapi untuk tujuan tababrruk. Kegemaran beliau  memelihara peninggalan Rasulullah  ini dapat kita rujuk dari hadits-hadits berikut.

a) Beliau  memelihara dan memakai cincin peninggalan Rasulullah . 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قال: اتَّخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ فَكَانَ فِى يَدِهِ ، ثُمَّ كَانَ فِى يَدِ أَبِى بَكْرٍ مِنْ بَعْدِهِ ، ثُمَّ كَانَ فِى يَدِ عُمَرَ ، ثُمَّ كَانَ فِى يَدِ عُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ حَتَّى وَقَعَ مِنْهُ فِى بِئْرِ أَرِيسَ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ (رواه البخاري 5535). 

Ibn Umar berkata: “Nabi pernah memakai cincin dari perak di jarinya setelah Nabi wafat Abu Bakr yang memakai setelah itu Umar dan setelahnya adalah Usman sehingga cincin tersebut jatuh di sumur aris yang ukiranya bertuliskan Muhamad Rasulullah .” (HR. Bukhari 1/235).

b) Beliau  memelihara dan menjaga tombak Rasulullah 

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ الزُّبَيْرُ لَقِيتُ يَوْمَ بَدْرٍ عُبَيْدَةَ بْنَ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَهُوَ مُدَجَّجٌ لَا يُرَى مِنْهُ إِلَّا عَيْنَاهُ وَهُوَ يُكْنَى أَبُو ذَاتِ الْكَرِشِ فَقَالَ أَنَا أَبُو ذَاتِ الْكَرِشِ فَحَمَلْتُ عَلَيْهِ بِالْعَنَزَةِ فَطَعَنْتُهُ فِي عَيْنِهِ فَمَاتَ قَالَ هِشَامٌ فَأُخْبِرْتُ أَنَّ الزُّبَيْرَ قَالَ لَقَدْ وَضَعْتُ رِجْلِي عَلَيْهِ ثُمَّ تَمَطَّأْتُ فَكَانَ الْجَهْدَ أَنْ نَزَعْتُهَا وَقَدْ انْثَنَى طَرَفَاهَا قَالَ عُرْوَةُ فَسَأَلَهُ إِيَّاهَا رَسُولُ اللَّهِ فَأَعْطَاهُ فَلَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ أَخَذَهَا ثُمَّ طَلَبَهَا أَبُو بَكْرٍ فَأَعْطَاهُ فَلَمَّا قُبِضَ أَبُو بَكْرٍ سَأَلَهَا إِيَّاهُ عُمَرُ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا فَلَمَّا قُبِضَ عُمَرُ أَخَذَهَا ثُمَّ طَلَبَهَا عُثْمَانُ مِنْهُ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا فَلَمَّا قُتِلَ عُثْمَانُ وَقَعَتْ عِنْدَ آلِ عَلِيٍّ فَطَلَبَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ فَكَانَتْ عِنْدَهُ حَتَّى قُتِلَ (رواه البخاري) 

Zubair berkata: “ketika peran Badr aku bertemu Ubaidah bin said Ibn al-‘Ash dalam keadaan terlukai parah yang sehingga tidak kelihatan kecuali kedua matanya ia dijuluki Aba Dzatil Karsy (bapaknya orang mengerut waiahnya) ia berkata aku Aba Dzatil Karsy, lalu aku menindihnya dengan senjata dan melukai kedua matanya setelah itu ia mati. Zubair berkata: “Sungguh kakiku telah aku injakkan ke padanya, sulit sekali aku melepaskan kakiku yang sudah lemas kedua ujungnya. Urwah berkata: lalu Nabi meminta mengarahkan kakinya dan memberikannya setelah Nabi mengambilnya, lalu giliran Abu Bakr meminta dan Nabi pun memberikannya begitu pula yang dilakukan shahabat Umar dan Ustman. Setelah Utsman terbunuh maka jatuh ke keluarga ‘Ali dan setelah itu di minta oleh Zubair dan dijaganya sampai ia terbunuh.” HR. Bukhari).

Dari hadits diatas terdapat dua masalah yang kiranya perlu kami sampaikan:

1) Perhatikan lafazh ini: قَالَ عُرْوَةُ فَسَأَلَهُ إِيَّاهَا رَسُولُ اللَّهِ فَأَعْطَاهُ  dari sini jelas-jelas kita memahami bahwa Rasullah  mengajarkan pada umatnya untuk memelihara atsar-atsar keagamaan (dalam hal ini adalah atsar ibadah jihad). 

2) Perhatikan lafazh ini:  سَأَلَهَا إِيَّاهُ عُمَرُ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا. Lafazh ini menunjukkan bahwa Sayyidina Umar Ibn al-Khattab  adalah salah satu figur yang sangat peduli dalam pemeliharaan atsar-atsar keagamaan, karena pemeliharaan atas atsar-atsar keagamaan memang diajarkan langsung oleh Rasulullah  dan tujuannya tidak lain adalah tabarruk.

Hadits diatas sekaligus menjadi bukti bahwa sejak dahulu amaliah berupa tabarruk telah dilakukan oleh para shahabat Nabi bahkan sampai sekarang. Lantas bagaimana dengan Afrokhi yang dalam bukunya halaman 160? Ia mengatakan: rosulpun tidak pernah mencontohkan kemudian ditiru oleh para shahabat. Jelas Afrokhi telah Kadzib 'Ala al Aimmah. (pembohongan terhadap para Imam). Sudah diketahui bersama bahwa bohong adalah dosa besar apalagi sampai berbohong kepada Nabi dan shahabatnya. Wallahu ‘alamu bishowab.

Nabi Bersabda :

لاَ ُتكَذِّبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ فَلْيَلْجُ اَلنَّارَ -رواه البخاري 

”Janganlah kamu berdusta kepadaku. Barang siapa yang berani sengaja berdusta kepadaku maka hendaklah masuk neraka.” (HR. Bukhari).

مَنْ كَذَّبَ عَلَىَّ لِيُضِلَّ بِهِ النَّاسَ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ الَّناِر ) جمع الجوامع أو الجامع الكبير للسيوطي - (ج 1 / ص 24346 أخرجه البزار ، وأبو نعيم فى الحلية عن ابن مسعود كما فى مجمع الزوائد (1/145) قال الهيثمى : رجاله رجال الصحيح) .

“Barang siapa yang berani sengaja berdusta kepadaku untuk menyasarkan umat maka hendaklah masuk neraka.” (Jami al-Jawâmi’ aw Jami al-Kabîr Li al-Suyhûti 1 /24346). 

Sebagian kesesatan yang telah disebarkan oleh Afrokhi adalah menampilkan riwayat yang menjelaskan bahwa Sayyidina Umar Ibn al-Khattab  memerintahkan memotong Syajarot al-Ridwan yang pernah dijadikan tempat oleh Nabi Muhammad  dan para shahabatnya untuk melakukan Bai’at Hudaibiyyah. Berikut ini kami sampaikan nash haditsnya:

عَنْ نَافِعٍ ، قَالَ بَلَغَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ، أَنَّ نَاسًا يَأْتُونَ الشَّجَرَةَ الَّتِي بُويِعَ تَحْتَهَا ، قَالَ فَأَمَرَ بِهَا فَقُطِعَتْ. ) ابن أبي شيبة في الصلاة عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَإِتْيَانِه(ِ.


Dari hadits ini Afrokhi memahami bahwa Sayyidina ‘Umar Ibn al-Khattab  benci atas pemeliharaan tinggalan-tinggalan yang mengandung momen keagamaan, dan merupakan wujud kebencian beliau pada tawassul, benarkah pemahaman Afrokhi ini?. Mari kita buktikan dan bandingkan dengan pendapat-pendapat ulama. 

Para ulama menjelaskan bahwa pemotongan Syajarot al-Ridwan atas inisiatif Sayyidina ‘Umar Ibn al-Khattab  bukan karena anti terhadap peninggalan-peninggalan Rasulullah . Namun sebaliknya, hal ini dilakukan beliau karena berdasarkan ghiroh diniyyah yang tumbuh dari kecintaan beliau terhadap peninggalan-peninggalan Rasulullah . Karena kecintaannya, beliau tidak terima bila orang-orang mengklaim bahwa Syajarot al-Ridwan tersebut adalah pohon-pohon yang hanya berdasar rekaan belaka. Karena nama sesungguhnya, Syajarot al-Ridwan tersebut telah dilupakan oleh para shahabat yang menghadiri peristiwa Bai’at Hudaibiyyah, dan tak seorangpun diantara mereka yang ingat mana sebenarnya pohon tersebut. Para shahabat yang mengikuti prosesi Bai’at al-Ridwan tidak dapat mengetahui Syajarot al-Ridwan secara pasti. Setelah waktu berjalan satu tahun tentu saja pada masa beliau telah berjalan beberapa tahun kemudian, dan para shahabat yang mengikuti prosesi Bai’at al-Ridwan semakin sedikit. 

Hal ini dapat kita ketahui dari hadits berikut ini:

عن طارق بن عبد الله انْطَلَقْتُ حَاجًّا فَمَرَرْتُ بِقَوْمٍ يُصَلُّونَ قُلْتُ مَا هَذَا الْمَسْجِدُ قَالُوا هَذِهِ الشَّجَرَةُ حَيْثُ بَايَعَ رَسُولُ اللَّهِ بَيْعَةَ الرِّضْوَانِ فَأَتَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ سَعِيدٌ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ كَانَ فِيمَنْ بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ تَحْتَ الشَّجَرَةِ قَالَ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ نَسِينَاهَا فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهَا فَقَالَ سَعِيدٌ إِنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَعْلَمُوهَا وَعَلِمْتُمُوهَا أَنْتُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ )رواه البخاري(  

Diriwayatkan dari Thoriq bin ‘Abdillah, dia berkata: “aku pergi haji dan aku melewati suatu kaum yang sedang shalat, kutanyai mereka “masjid apa ini?” mereka menjawab “ini adalah pohon tempat Rasulullah  melakukan Bai’at al-Ridwan”, kemudian aku mendatangi Sa’id bin Musayyab dan aku memberi tahunya, Sa’id bin Musayyab berkata “bapakku bercerita padaku bahwasanya dia (bapakku) termasuk salah satu shahabat yang mengikuti Bai’at Rasulullah  dibawah pohon (Syajarot al-Ridlwan), bapakku berkata saat kami keluar setahun setelah Bai’at tersebut kami lupa pohon manakah yang waktu itu digunakan untuk Bai’at dan kami tidak mampu lagi untuk mengetahui pohon tersebut. Kemudian Sa’id berkata: sesungguhnya para shahabat Nabi Muhammad   tidak lagi mengetahui pohon tersebut, dan (benarkah) kalian semua bisa mengetahuinya ?? maka (apakah) kalian semua lebih tahu(daripada mereka)?? (HR. Bukhari)

Jelaslah sudah bahwa apa yang disampaikan Afrokhi seputar permasalahan ini adalah verbal gombal yang mungkin karena ketidak tahuan Afrokhi atau memang sengaja asal beda yang suka caper (cari perhatian).

6. Ibn Rojab al-Hanbali

Nama lengkap beliau adalah Zainuddin Abdi al-Rohman bin Ahmad bin Rojab bin Hasan (736-795H/1336-1393 M). Faqih, seorang ulama madzhab Hanbali menjelaskan:

وفي هذا : استحباب اتخاذ آثار النبي ( ومواضع صلواته مصلى يصلى فيه .وقال ابن عبد البر : كره مالك وغيره من أهل العلم طلب موضع الشجرة التي بويع تحتها بيعة الرضوان ؛ وذلك - والله أعلم - مخالفة لما سلكه اليهود والنصارى فِي مثل ذَلِكَ .ذكره فِي ( ( الاستذكار ) ) فِي الكلام عَلَى حَدِيْث : ( ( اِشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ ) .وقال : ذكر مالك بإثر هذا الحديث حديث عتبان بن مالك ؛ ليبين لك أن معنى هذا الحديث مخالف للذي قبله .قال : والتبرك والتأسي بأفعال رسول الله ( إيمان به وتصديق ، وحب في الله وفي رسوله .)فتح الباري لابن رجب - (ج 2 / ص 384)

Dalam pembahasan ini disunnahkannya menjadikan atsar Nabi serta tempat shalatnya Nabi sebagai mushola (tempat shalat). Menurut Ibn Abdi al Bar Imam Malik dalam kitab dan ulama lainnya menghukumi makruh mencari tempatnya pohon yang digunakan untuk membai’at (Bai’at Ridlwan) dan itupun berbeda dengan yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasroni. Seperti penjelasannya dalam kitab al Istidzkar mengkomentari hadits “ Isytadda Ghodobullohi ‘Ala Qoumin Ittakhodzu Qoburo Anbiyaihim Masajida”, namun setelah pembahasan hadits ini Imam Malik meriwayatkan hadits dari Utban bin Malik beliau berkata: “al Tabarruk dengan perbuatan Nabi merupakan keimanan dan pembenaran serta cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Fath al Bari LIbni al Rojab 2/ 384 

Disini al-Syaikh Ibnu Rojab menjelaskan pendapat para ulama. Dari ulama yang terkesan melarangpun tidak satupun yang sampai mengakafirkan, akan tetapi hanya sebatas hukum makruh. Itupun karena sesuatu yang lain yang dapat kita pahami dari alasan-alasan yang disampaikan.

a) Menurut Ibn Faraj disunnahkan menjadikan atsarnya Nabi sebagai tempat shalat

b) Menurut pendapat Imam Malik dan lainnya yang disampaikan Ibn Abdi al-Barr adalah makruh bahkan Imam Malik meriwayatkan  hadits dari Utban bin Malik yang intinya bahwa al-Tabarruk dengan perbuatan Nabi merupakan keimanan dan pembenaran serta cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Terlepas dari apa yang disampaikan al-Syaikh Ibn Rojab, kiranya kita bisa menilai dengan seksama dan obyektif. Bagaimana kita mengambil pendapat dari ulama yang otoritatif dan membandingkannya dengan pendapat Afrokhi yang hanya mengumbar kebohongannya saja.Subhanallah.

7. al-Syaikh Ibn Daqiqi al-`Ied 

Beliau adalah Muhammad bin Ali bin Wahb bin Muthi` Abu al-Fath Taqiyyuddin al-Qusyairy (625- 702 H/ 1228-1302 M). Ulama terkenal dan pakar ushul menjelaskan:

وَقَوْلُه: "فمن ناضح ونائل" النضح: الثاني: يُؤْخَذُ مِنَ الْحَدِيْثِ اِلْتِمَاسُ الْبَرَكَةِ بِمَا لاَبِسَهُ الصَّالِحُوْنَ بِمُلاَبَسَتِهِ فَإِنَّهُ وَرَدَ فِي اْلوضُوءِ اَلّذِي تَوَضَأَ مِنْهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَيَعْدِى بِاْلَمْعَنى إِلَى ساَئِرِ مَا يُلاَبِسُهُ الصَّالِحُوْنَ. (إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام ج 1 / ص 126كتاب الصلاة باب الأذان) 

“Yang kedua, hadits tersebut dibuat dasar untuk mengambil barokah dengan seuatu yang dipakai oleh orang-orang shalih, karena ada nash yang menjelaskan air yang digunakan oleh Nabi  untuk wudlu. Dan juga penjelasan dari segi makna yang dapat disamakan dengan sesuatu yang dipakai oleh orang-orang shalih (Ihkamul Ahkam Syarh Umdah al-Ahkam 1/126).

Dari penjelasan diatas, al-Syaikh Ibn Daqiqi al-`Ied mencukupkan atsar (bekas) dari Nabi Muhammad  untuk menegaskan akan disyari`atkannya tabarruk dengan atsar dari orang-orang shalih. Sekarang, bagaimana dengan pernyataan Afrokhi yang hanya mengkhususkan tabarruk kepada Nabi Muhammad  saat beliau masih hidup. Afrokhi dalam bukunya halaman 173, mengatakn: Maka dari hal-hal tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa tabarruk terhadap dzatiyyah manusia ini terbatas atau khusus hanya pada dzatiyyah Nabi  yang mulia saja, dan terhenti sesudah wafatnya.

Tidakkah pandangan Afrokhi ini bertentangan dengan pendapat ulama dan juga merupakan penyempitan terhadap ruang lingkup umat Islam terlebih warga Nahdliyyin untuk ber-taqorrub pada Allah  dengan mencintai dan mengagungkan para kekasih Allah? Katanya mengajak kembali kepada al-Kitab, al-Sunnah dan pendapat Ulama. 

4. Kesalahan Afrokhi Masalah Tabarruk

Setelah kita mengetahui penjelasan tentang tawassul dan tabarruk dari al-Qur`an, Hadits dan pendapat ulama, dapat kita mengerti dan paham bahwa amaliah-amaliah yang dilakukan warga Nahdliyyin adalah amaliah yang benar dan sesuai dengan Syari`at. Jika kita bandingkan dengan pernyataan yang disampaikan Afrokhi, maka telah jelas bahwa dari seluruh referensinya ia merujuk kitab-kitab orang Wahhabi yang semuanya bermuara kepada Ibn Taimiyyah, Abdullah bin Baz dan Utsaimin. Seandainya Afrokhi mengambil dari ulama al-Salaf tentunya banyak sekali pendistorsian terhadap pendapat teks yang ada.

Berikut ini kami jelaskan kefatalan pendapat yang disampaikan oleh Afrokhi:

A. Afrokhi dalam bukunya halaman 30 menulis sebagai berikut: Perhatikan kalimat ini “yang dulu biasa kita lakukan”. Siapa yang Afrokhi maksud dengan kata “kita”? Kalau yang dimaksud adalah pengikut Afrokhi, maka kami belum terpikir untuk membahasnya. Akan tetapi bila yang dimaksud adalah warga Nahdliyyin, berarti Afrokhi tidak paham akidah dan amaliah warga Nahdliyyin. Bahkan tidak paham dengan apa yang dia paparkan dalam Buku Putih Kyai NU-ya sendiri.

B. Pada halaman 160 Afrokhi menulis:

Mereka semua tidak ada yang mengamalkan amalan ngalap barokah walaupun ke makam Nabi . Apalagi kepada kuburan para wali/ kyai. Bahkan Nabi Muhammad  melarang semua perkara yang menjurus kepada pengagungan kuburan dan penghuni kubur/ mayit. Demikian pula para shahabat Nabi  tidak satupun yang mengagungkan kuburan Nabinya.

Afrokhi mengatakan, bahwa shahabat Nabi Muhammad  tidak pernah melakukan amalian tabarruk, ini benar atau hanya karena Afrokhi saja yang malas ngaji sehingga tidak mengerti hadits dan atsar dari Nabi Muhammad  dan para shahabatnya? Padahal, penjelasan di depan baik al-Kitab, al-Sunnah dan pendapat ulama jelas sekali menegaskan untuk disyari`atkannya amaliah tabarruk tersebut. Selanjutnya apabila yang dimaksud oleh Afrokhi dengan kata “Pengagungan” adalah pengagungan terhadap dzat yang berhak disembah (di-Tuhan-kan), maka jelas semua orang Islam mengerti hal itu sangat dilarang oleh Nabi Muhammad  dan semua nabi-nabi sebelumnya.  Namun, apabila yang dimaksud “Pengagungan” adalah pengagungan yang sesuai dengan derajat penghuni kubur tersebut sebagai makhluk Allah  yang terpilih dan yang diagungkan Allah , maka semua itu jelas tidak melanggar agama. Bukankah ini termasuk pembodohan terhadap umat Islam? Na’udzubillahi min dzalik. 

5. Kesimpulan

Dari semua pemaparan yang telah kami jelaskan seputar permasalahan tabarruk diatas, kiranya kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwasanya amaliah berupa tabarruk sangat diperbolehkan dan dianjurkan oleh syari`ah. Karena amaliah tersebut memang berlandaskan dalil-dalil al-Qur’an, al-Hadits dan ulama. Hanya saja orang-orang yang menutup mata dan hatinya, mereka yang tidak mau menerima sebuah kebenaran. 


Komentar0

Type above and press Enter to search.