Tawassul
Tawassul secara etimologi mempunyai arti menjadikan sesuatu sebagai perantara dan sebab tercapainya sebuah tujuan. Tawassul menurut terminologi syara`, menjadikan sesuatu yang mempunyai derajat tinggi di sisi Allah (amal sholeh, Anbiya’ dan Shalihin) sebagai perantara (al-Mutawassal Bihi) untuk di kabulkannya do`a.
Lebih jelasnya mari kita lihat bersama penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Mandzûr.
Beliau adalah al-Syaikh Muhammad bin Mukrom Ibn Mandzûr (W. 711 H). Dalam kamus besarnya Lisân al-Arab ia menjelaskan:
الوَسِيلةُ المَنْزِلَةُ عِنْدَ الْمَلِكِ وَالْوَسِيلةُ الدَّرَجةُ وَالوَسِيْلَةُ َاْلقُرْبَةُ . وَوَسَّلَ فُلاَنٌ إِلىَ اللهِ وسِيلةً إِذا عَمِلَ عَمَلاً تَقَرَّبَ بِهِ إِليْهِ وَالْوَاسِلُ َالرَّاغِبُ إِلى اللهِ .قاَلَ لَبِيْدُ أََرَى النَّاسَ لاَ يَدْرُوْنَ مَا قَدْرُ أَمْرِهِمْ بَلىَ كلُُّ ذِي رَأْيٍ إِلىَ اللهِ واسِلُ وَتوَسَّلَ إِلَيْهِ بِوَسِيْلَةٍ إِذاَ تَقَرَّبَ إَِلَيْهِ بعَمَلٍ وَتوَسَّلَ إِليهِ بِكَذَا تَقَرَّبَ إِِلَيْهِ بِحُرْمَةِ آصِرةٍ تُعْطِفُهُ عَلَيْهِ وَالْوَسِيلةُ اَلْوُصْلَةُ وَالقُرْبى وَجَمْعُهَا اَلْوَسَائِلُ قَالَ اللهُ تَعَالىَ أُولئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلىَ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ (لسان العرب وسل ج 11 / ص 724).
“Lafazh wasilah atau tawassul mempunyai arti suatu posisi atau derajat yang telah dimiliki oleh seseorang, al-Darojah dan al-Qurbah (pendekatan) seseorang menjadikan perantara memohon kepada Allah ketika ia melakukan sesuatu untuk mendekatkan dirinya kepada Allah ia berkata :aku melihat semua manusia tidak mengetahui urusanya bahkan setiap orang yang melihat mempunyai perantara menuju Allah serta menjadikan perantara tersebut.Wasilah adalah perantara atau mendekatkan.seperti ayat Ulaika alladzina Yad’uuna Yabtaghuna ila Robbihim al-Wasilataayyuhum Aqrobu”. (Lisân al-`Arab 11 /724).
Ibnu Mandzur menjelaskan bahwa penggunaan lafazh tawassul bisa untuk posisi seseorang, derajat dan al qurbah (mendekatkan diri). Tawassul yang menggunakan arti qurbah adalah sesuatu yang menjadi media untuk mendekatkan diri pada orang lain, dan inilah yang menjadi arti lafazh al-Wasilah. Dan realitanya, orang yang bertawassul menjadikan sesuatu yang di jadikan perantara hanya sebatas media ataupun sabab terkabulkanya suatu permohonan.
al-Jauhari juga memberikan komentar dalam Lisân al-`Arab sebagai berikut:
قال الجوهري اَلْوَسِيلةُ ما يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلىَ الغَيْرِ وَالْجَمْعُ الوُسُلُ وَاْلوَسَائِلُ وَالتَّوْسيلُ وَالتَّوسُّلُ وَاحِدٌ وَفِي حَدِيْثِ الْأََذَانِ اَللَّهُمََّّ آتِ مُحَمَّدًاً الوَسِيلَةَ هِيَ فِي اْلأََصْلِ مَا يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلىَ الشَّيْءِ وَيُتَقَرَّبُ بِهِ وَاْلمُرَادُ بِهِ فِي الْحَدِيْثِ اَلْقُرْبُ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَقِيْلَ هِيَ الشَّفَاعَةُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَقِيْلَ هِيَ مَنْزِلَةٌ مِنْ مَنَازِلِ الْجَنَّةِ كَمَا جَاءَ فيِ الْحَدِيْثِ وَشَيْءٌ وَاسِلٌ وَاجِبٌ (لسان العرب وسل ج 11 / ص 724).
Menurut pendapat al-Jauhari, al-Wasilah adalah sesuatu yang digunakan atau dijadikan perantara kepada lainnya. lafazh j ama`nya adalah al wushul, al Taushil dan al-Wasail. Wasilah dalam hadits yang menerangkan adzan “allahumma ati Muhammadan al-Wasilah” menurut keasalanya adalah perantara menuju yang lain. Yang dikehendaki dalam hadits ini adalah al-Qurb (pendekatan). Dalam satu pendapat bdiartikan al-Syafa`at (dihari kiamat) dan juga diartikan al-Manzilah(kedudukan) di surga seperti keterangan dalam hadts. (Lisan al-`Arabi 11/724).
Kita lihat dalam Syair berikut ini:
إنَّ الرِّجَالَ لَهُمْ إِلَيْكِ وَسِيلَةٌ... إِنْ يَأْخُذُوكِ، تكَحَّلِي وتَخَضَّبي
Sungguh para lelaki mempunyai perantara menuju kepadamu
Kalau mereka mengambilmu maka lekaslah kamu bersolek
Dari penjabaran yang sangat luas dan didukung syair diatas, pengertian lafazh wasilah ini tidak hanya tertentu menggunakan arti yang disampaikan Afrokhi, akan tetapi arti dari al-Wasilah sesuai dengan ke autentisitasinya adalah Ma Yutaqorrobu Ilal Ghoir (sesuatu yang dijadikan perantara untuk mendapatkan tujuan). Definisi diatas sekaligus mematahkan asumsi Afrokhi dalam bukunya halaman 308-309. ia mengatakan bahwa makna lafazh tawassul adalah al-wasilah seperti dalam hadits dan juga penggunaannya hanya dengan amal-amal seperti ibadah shalat ataupun membaca al-Qur`an bukan tawassul ke Wali atau Kyai.
sekarang kita tau betapa cerobohnya Afrokhi memberikan pembatasan arti kepada lafazh al-Wasilah sehingga menutup penggunaan makna yang lainya.
Penjelasan Tawassul
Tawassul dengan orang-orang yang dicintai Allah , seperti para Nabi dan orang shalih itu diperbolehkan, berdasarkan konsensus ulama kaum muslimin. Tawassul itu telah dikenal sejak zaman klasik dan sekarang.
Bagaimana dengan pernyataan Afrakhi yang mengatakan bahwa tawassul yang dilakukan oleh warga NU itu adalah syirik dan kufur, serta pelakunya tergolong orang musyrik dan kafir? Tentu, pernataan Afrokhi yang nyeleneh dan berpisah dari jama`ah tidak dapat diteladani. Ia berasumsi bahwa tawassul adalah perbuatan syirik dan haram, lalu menghukumi musyrik kepaada orang-orang yang bertawassul. Ini jelas tidak benar dan batil, sebab asumsi seperti ini akan menimbulkan penilaian bahwa sebagian besar umat islam telah membuat kesepakatan (Ijma`) atas perkara yang haram dan syirik. Hal demikian sangatlah tidak mungkin, karena berdasarkan hadits-hadits Rasulullah , umat Muhammad ini telah mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas perbuatan sesat,. Seperti hadits:
عَنِ ابنِ عُمَرَ: أنَّ رَسُوْلَ الله صَلّى الله عليه و سَلّمَ قَالَ إنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي أوْ قَالَ أمَّةَ مُحَمّدٍ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم عَلَى ضَلَالةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعةِ (رواه الترمذي).
Ibn Umar berkata: Rasulullah bersabda: ”Allah tidak akan menghimpunkan umatku (umat Muhammad ) untuk bersepakat atas perkara sesat. Dan kekuasaan Allah ada di Jama’ah" (HR. al-Turmdzi).
Ayat-ayat al-Qur'an yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul (menggunakan perantara dalam memohon kepada Allah ) adalah surat al-Baqoroh ayat 45, surat al-Maidah ayat 35 dan ayat al-Nisa’ ayat 64:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya" (QS. Al-Maidah: 35).
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada kita untuk mencari wasilah (perantara), yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan akan terpenuhinya sebuah hajat.
Dari ayat tersebut dapat pula kita pahami bahwa tawassul tidak terbatas pada amal perbuatan saja, namun pada benda (Dzat) juga. Lafazh al-Wasîlah dalam surat al-Mâidah ayat 35 ini mencakup semua bentuk wasilah baik berupa al-Dzawat al-Fadlilah ataupun yang lainnya, Ayat al-Qur'an tersebut umum (‘Am), meliputi amal-amal perbuatan baik dan orang-orang shalih, yakni dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi dan wali-wali Allah yang bertakwa.
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ (البقرة: 45).
”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (QS. al-Baqoroh: 45).
Lafazh Bissobri Wa Sholah pada ayat tersebut memberikan pengertiaan bahwa Allah memerintah kita untuk mememinta pertolongan berupa sabar dan mengerjakan shalat. Sehingga dapat dipaham bahwa tawassul juga mengikut sertakan amaliah seperti shalat dan sabar.
Di dalam al-Qur`an juga diterangkan bolehnya meminta pertolongan terhadap sesama makhluk. Yaitu ketika Nabi Sulaiman memberikan sayembara pada kaumnya untuk mendapatkan kerajaan ratu Bilqis, sebagaiman dalam al-Qur`an:
قَالَ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ )النمل: 38.(
Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS. al-Naml: 38)
sebagaimana yang telah kita ketahui, Nabi Sulaiman mempunyai pengikut dari golongan manusia, jin bahkan hewan.
Setelah mengetahui penggunaan lafazh al-Wasîlah dalam al-Qur`an yang memperbolehkan bertawassul dengan al Dzawât al-Fadlîlah, lantas bagaimana dengan pernyataan Afrokhi dalam bukunya halaman 308-309 yang menyatakan bahwa pembagian tawassul yang benar cuma ada dua, menurutnya sesuai Ibn Taimiyah. Pertama, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Kedua, tawassul dengan do`a Nabi ketika masih hidup dan syafa`at beliau dalam bentuk do`a. Ia juga mengatakan bahwa boleh bertawassul dengan amal perbuatan saja. Sedangkan tawassul dengan dzat-dzat tidak boleh, serta membatasi maksud ayat pada pengertian pertama (tawassul dengan amal perbuatan) dan dengan penjelasan dari surat al-Baqoroh ayat 45. Sekarang nyata dan jelaslah bahwa pendapat yang disampaikanya tersebut tidaklah berdasar, sebab jika kita mencermati dengan seksama ayat yang pertama tersebut adalah relatif. Bahkan membawa ayat kepada pengertian kedua (tawassul dengan dzat) itu lebih mendekati, sebab Allah dalam surat al-Maidah memerintahkan takwa dan mencari wasilah, sedang arti takwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Apabila kata "Ibtighoul Wasîlah" (mencari wasilah) kita artikan dengan amal-amal sholeh, berarti perintah dalam mencari wasilah hanya sekedar pengulangan dan pengukuhan. Tetapi jika lafazh "al-Wasîlah" ditafsirkan pada dzat-dzat yang mulia, maka berarti yang asal, dan makna inilah yang lebih diutamakan dan lebih didahulukan. Disamping itu, apabila tawassul itu boleh dengan amal-amal perbuatan baik yang notabenenya merupakan sifat yang diciptakan, maka dzat-dzat yang diridloi oleh Allah lebih berhak diperbolehkan, mengingat ketinggian tingkat ketaatan, keyakinan dan makrifat dzat-dzat itu kepada Allah .
Hal ini sesuai dengan firman Allah :
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (النساء -64).
"Sesungguhnya jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah , dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa':64).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memberikan pelajaran pada Umat Islam tentang salah satu etika dalam memohon ampunan dari Allah yaitu dengan sowan (mendatangi) Rasulillah dan memohon ampunan dari-Nya dibarengi dengan permohonan ampunan dari Rasulillah pada Allah untuk kita. Dari ayat ini pula kita bisa melihat nyata bahwa al-Qur`an mengajari kita untuk bertawassul. Para ulama memahami dari ayat ini, bahwasanya bentuk tawassul ini tidaklah terhenti dengan wafatnya Rasulillah .
Ayat ini juga sangat jelas menerangkan bahwa Rasulullah dijadikan sebagai perantara kepada Allah . Hal ini bisa kita buktikan dengan firman Allah "Ja-uka" (mereka datang kepadamu) dan ”Wastaghfaro lahumurrosuulu” (dan Rasul memohokan ampun untuk mereka).
Syihabuddin Mahmud Ibn Abdillah al-Husaini al-Alusi dalam kitabnya Tafsir Alusy mengatakan:
جَاءُوْكَ عَلىَ إِثْرِ ظُلْمِهِمْ بِلاَ رَيْثٍ مُتَوَسِّلِيْنَ بِكَ تَائِبِيْنَ عَنْ جِنَايَتِهِمْ غَيْرَ جَامِعِيْنَ حَشَفاً وَسُوْءَ كَيْلَةٍ بِاعْتِذَارِهِمْ اَلْبَاطِلِ وَأِيْمَانِهِمْ اَلْفَاجِرَةِ { لَوَجَدُواْ الله تَوَّاباً رَّحِيماً }. وَقَالَ اِبْنُ عَطَاءِ فِي هَذِهِ الآيَةِ : أَيْ لَوْ جَعَلُوْكَ اَلْوَسِيْلَةَ لَدَيَّ لَوَصَلُوْا إِليَََّّ (تفسير الألوسي - (ج 4 / ص 113).
“Maksud dari Ayat diatas adalah mereka datang kepadamu( Muhammad ) seraya menjadikanmu perantara atas dosa yang telah diperbuatnya dalam memohon taubat atas kesalahan, disebabkan mereka telah melakukan perbuatan bathil serta keimannya yang goyah. Menurut pendapat Ibn ‘Atho’, tafsir ayat ini adalah: jikalau mereka menjadikanmu (Muhammad ) perantara kepada-Ku niscaya mereka akan sampai.” (Tafsîr al Alûsi 4: 113).
al-Alûsy menjelaskan bahwa maksud dari lafazh “Jaauka” adalah mereka telah menjadikan Nabi sebagai perantara memohon kepada Allah agar mengampuni segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuat oleh mereka. Dengan kata lain mereka memposisikan Nabi sebagai wasilah atau perantara, tidak lebih dari itu.
Setelah kita tahu bahwa tawassul merupakan sarana kita untuk menuju sesuatu dan bisa memasukkan Dzawat al-Fadlilah, mari kita komparasikan dengan pernyataan Afrokhi diatas yang pendapatnya mengadopsi dari Ibn Taimiyah dan kolegannya. Kiranya kita semua bisa mengetahui bahwa dalam menjelaskan lafazh al-Wasilah Afrokhi masih kurang menguasai dan mengerti serta masih banyaknya pentahrifan dalam teks sebuah dalil.
Selanjutnya, tawassul juga diperbolehkan secara umum, baik dengan orang-orang yang hidup dan yang mati, karena ayat tersebut menunjukkan keumuman ('Am) ketika Nabi masih hidup di dunia dan sesudah beliau wafat. Dan telah dipastikan, bahwa para nabi dan wali itu hidup dalam kubur mereka, dan arwah mereka di sisi Allah .
Barangsiapa bertawassul dengan mereka dan menghadap kepada mereka, maka seperti menghadap kepada Allah dalam rangka memohonkan agar tercapai suatu permintaan. Dengan demikian, maka Nabi, wali atau bahkan Kyai hanya merupakan sarana atau media saja. Allah yang berbuat dan yang mencipta, bukan lain-Nya. Golongan Ahlussunnah Wal-Jama`ah tidak meyakini adanya kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan marabahaya kecuali milik Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. para nabi dan wali tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka hanya diambil berkah dan dimintai bantuan karena kedudukan mereka, sebab merekalah orang-orang yang dicintai Allah , dan karena mereka pula Allah memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mereka yang masih hidup atau mereka yang sudah meninggal dunia. Karena yang kuasa berbuat dalam dua kondisi tersebut hakikatnya adalah Allah , bukan mereka yang hidup atau yang mati.
Dari ayat tersebut juga mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat juga berpindahnya ke alam Barzakh. Ibnu al-Qoyyim dalam kitab Zad al-Ma`ad menyebutkan:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُضْرِيِّّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلّم مَا خَرَجَ رَجُلٌ مِنْ بَيْتِهِ إِلىَ الصَّلاَةِ فَقَالَ اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ، وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، أَنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشِرًا، وَلاَ بَطَرًا، وَلاَ رِيَاءً، وَلاَ سُمْعَةً ، خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، وَكَّلَ الله بِهِ سَبْعِينَ أَلْفَ مَلَكٍ يَسْتَغْفِرُونَ لَهُ ، وَأَقْبَلَ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ حَتَّى يَفْرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ.. رواه ابن ماجه (770) واحمد (10729) وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم واسناد هذا الحديث من شرط الحسن وقد حسنه جمع من الحفاظ منهم الحافظ الدمياطي في المتجر الرابح في ثواب العمل الصالح ص (471–472) والحافظ ابو الحسن المقدسي شيخ الحافظ المنظري كما في الترغيب والترهيب )3\273) و الحافظ العراقي في تخريج احاديث الاحيأ )1\291) والحافظ ابن الحجر العثقلاي في أمالي الاذكار (1\272) وقال الحافظ البصيري في مصباح الزجاجة )1\99(: لكن رواه ابن حزيمة في صحيحه من طريق فضيل بن مرزوق فهو صحيح عنده . انتهأ فهؤلاء خمسة من الحفاظ رحمهم الله تعالي صححو او حينو الحديث وقولهم حقيق بالقبول)
Diriwayatkan dari abi Said al-Khudry Nabi berkata: “Barang siapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat di masjid kemudian ia berdo`a: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang orang yang berdo`a keapada-Mu (baik yang masih hidup maupun meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya’ dan sum’ah (ingin didengar orang), aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu. Maka aku memhon kepada-Mu, Selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa dosaku. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau’ maka Allah akan meridloinya dan 70.000 malaikat memohonkan ampun kepadanya., dan Allah menatap orang itu hingga selesai shalat”. (HR. Ibn Mâjah).
Hadits diatas telah membuktikan bahwa diperbolehkannya bertawassul kepada orang yang mempunyai keistimewaan sekaligus mementahkan juga melemahkan kiyad dan kecerobohan Afrokhi dalam bukunya halaman 313 yang mengatakan bahwa: “Tidak pula do`a-do`a yang Mashur dari kalangan shahabat. Dan hanya ada dalam hadits-hadits yang Dloif Marfu’ ataupun Mauquf”.
Dalam hadits diatas perlu kita cermati bahwa pada lafazh assailin ini termasuk lafazh yang universal sesuai dengan kaidah Ushul Fiqih. Dalam artian pada lafazh ini jelas memberikan kepahaman bagi kita semua bahwa kita diperbolehkan untuk tawassul kepada seseorang yang masih hidup maupun sudah meninggal. Keumuman lafazh tersebut juga memberikan kepahaman diperbolehkannya kita bertawassul dengan orang yang mempunyai keistimewaan baik Nabi, wali, orang shalih ataupun dengan amal shalih. Untuk tawassul dengan orang yang mempunyai keistimewaan terdapat pada lafazh bihaqqissa’lin, untuk tawassul dengan amal shalih terdapat pada lafazhl wabihaqqi mamsyaya.
Dari Imam al-Baihaqi, Ibn As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan do`a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين....إلخ
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang orang yang berdo`a keapada-Mu (baik yang masih hidup maupun meninggal).”
Para ulama berkata, ”Ini adalah tawassul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada shahabat dan memerintahkan membaca do'a ini. Dan semua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pergi shalat.”
Berikut hadits tentang do`a diatas:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لمّاَّ مَاتَتْ فَاطِمَةُ بِنْتِ أُسْدٍ أُمُّ عَليِ بْنِ اَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -وَذَكَرَ اَلْحَدِيْثَ- وَفِيْهِ: أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم اِضْطَجَعَ فِي قَبْرِهَا وَقَالَ: اَللهُ الَّذِى يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّّ لاَيَمُوْتُ اِغْفِرْ لِأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أسد وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيَِّك وَالْأَنْبِياَءِ وَاْلُمُرْسَلِيْنَ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ (رواه الطبراني فى المعجم الكبير والاوسط وابو نعيم فى حلية الاولياء.(
Dari Anas bin Malik ra. ia berkata, “Ketika Fathimah binti As`ad ibunda Ali bin Abi Thalib ra. meninggal, maka sesungguhnya Nabi berbaring diatas kuburannya dan bersabda: Allah adalah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti As`ad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan sebaik-haik Nabi-Mu dan Nabi-Nabi serta para Rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.” (HR. Imam al-Thabrani dan Abu Nu`aim)
al-Qur`an, al-Hadits dan ulama telah mengajari kita semua untuk bertawassul baik dengan orang yang mempunyai keistimewaan, amal shalih dan juga menggunakan do`a-do`a. Maka jelaslah sudah bahwa apa yang disampakan Afrokhi dalam bukunya halaman 313 bahwa: “tidak dijumpai ini (tawassul kepada Nabi sesudah wafat dan dzatiyah beliau dan tidak pula do`a-do`a yang Mashur dari kalangan shahabat.” adalah kebohongan terhadap shahabat dan ulama. Ia melakukan kesalahan tersebut hanya mengikuti Hawa Sangunya saja. Apakah ia akan tetap menutup mata setelah datangnya kebenaran? padahal dalil-dalil yang telah kami jelaskan telah membolehkan untuk bertawassul dan istighosah kepada orang yang mempunyai keistimewaan...! Atau ia akan berbalik bertaubat kembali ke jalan kebenaran? Wallahu”Alamu Bisshowab.
Selanjutnya, mungkin kita juga timbul suatu pertanyaan jika tawassul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa khalifah Umar din al-Khattab tawassul dengan al-Abbas dan bukan dengan Nabi yang telah wafat?
Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama:
”Adapun tawassul Umar bin al-Khattab dengan al-Abbas ra. bukanlah dalil mengenai larangan tawassul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawassul Umar bin al-Khattab dengan Abbas tidak dengan Nabi , itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawassul dengan selain Nabi itu boleh bahkan tidak berdosa. adapun alasan dengan Abbas bukan dengan shahabat lainnya, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah .” Untuk menjustifikasikannya, adalah perbuatan para shahabat. Mereka selalu dan terbiasa bertawassul dengan Rasulullah . setelah beliau wafat. Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah dengan sanad yang Shohih:
"Sesungguhnya orang-orang pada masa khalifah Umaar banal-Khattab ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra datang ke kuburan Rasulullah dan berkata: ’Ya Rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.’ Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah dan berkata: ’Datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan.’ Bilal lalu datang kepada khalifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan."
Letak penggunaan dalil dari hadits tersebut adalah perbuatan Bilâl bin Al-Hârits, seorang shahabat Nabi yang tidak diprotes oleh khalifah Umar maupun shahabat-shahabat Nabi lainnya. Imam ad-Dârimi juga mentakhrij sebuah hadits yang berbunyi:
قَحَط أَهْلُ اْلَمِدْيَنةِ قَحْطًا شَدِيْدًا فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَقَالَتْ اُنْظُرُوْا إِلىَ قَبْرِ النَبيِّ فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كُوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ فَفَعَلُوا فَمُطِرُوا مَطَرًا شَدِيْدًا حَتىَّ نَبَتَ اَلٍْعَْشُب وَسَمِنَتْ اَلْإِبِلُ حَتَّي تَفْتَقِنَ فَيُسَمَّّى عَامَ اْلفِتْقَةِ (سنن الدارمي : 92).
"Sesungguhnya penduduk Madinah mengalami paceklik yang amat parah, karena langka hujan. Mereka mengadu kepada Aisyah ra dan ia berkata: ’Lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi lalu buatlah lubang terbuka yang mengarah ke arah langit, sehingga antara kuburan beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya. Mereka melaksanakan perintah Aisyah, kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras, hingga rumput-rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk." (HR. al-Darimi: 92).
Penjelasan hadits diatas, juga dapat melemahkan pendapat Afrokhi dalam bukunya halaman 313 bahwa shahabat tidak pernah melakukan tawassul dalam istisqo’ dan semacamnya.
Ringkasnya, tawassul itu diperbolehkan dengan amal perbuatan yang baik atau dengan hamba-hamba Allah yang shalih, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawassul itu telah termasyru` sebelum Nabi Muhammad diciptakan, terbukti Nabi Adam . adalah orang yang pertama bertawassul dengan Nabi Muhammad . Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab .
Imam Malik juga telah memberi anjuran tawassul kepada Khalifah al-Mansûr, yaitu ketika ia ditanya oleh khalifah yang sedang berada di masjid Nabawi: ”Saya sebaiknya menghadap kiblat dan berdo`a atau menghadap Nabi ?” Imam Malik berkata kepada kh`alifah tersebut: "Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilahmu dan wasilah bapakku Nabi Adam as. kepada Allah ? Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah pertolongan dengannya, Allah akan memberinya pertolongan dalam apa yang engkau minta.”Allah befirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا) سورة النساء/4، الآية: 64.(
"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah , dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS.al-Nisa`: 64).
Dalam kitab Riyadlus-Shâlihîn hadits no. 3 dalam bab Wadâis-shahib, Rasulullah bertawassul agar Umar tidak lupa untuk menyertakan Rasulullah dalam semua do`anya ketika umrah di Mekkah:
عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِي َاللهُ عَنْهُ قَالَ اِسْتَأْذَنْتُ النَّبِىَّ فِى اْلعُمْرَةِ فَأذِنَ لىِ وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ اَشْرِكْنَا يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. (رواه ابوداود والترمذى).
“Dari shahabat Umar Ibnul Khattab ra. berkata: “Saya minta idzin kepada Nabi untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya.” Dan Rasulullah bersabda; “Wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do`amu.” Umar berkata: ”Suatu kalimat yang bagi saya telah senang dari pada pendapat kekayaan dunia.” Dalam riwayat lain; Rasulullah bersabda: ”Sertakanlah kami dalam do’amu”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hadits diatas Rasulullah meminta kepada Sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do`anya selama di Makkah. padahal kita tahu, do`a Rasulullah lebih dekat untuk untuk di terima dari pada Sayyidina Umar ra., tetapi beliau meminta do`a kepada Sayyidina Umar.
Penjelasan lain untuk tawassul seperti diatas terdapat dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I. Bahwa Sayyidina Umar Ibn Khattab bertawassul dengan Rasulullah dan Shahabat Abbas ketika musim paceklik, sebagaimana disebutkan berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ اَنَّ عُمَرَابْنَ اْلخَطَّابِ رَضِى اللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقىَ بِالعَبَّاسِْ بنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ فَقَالَ: الَّلهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا, قَالَ: فَيُسْقَوْنَ. (رواه البخاري: 964).
“Dari shahabat Anas; bahwasannya Umar Ibn Khattab ra. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon hujan dengan wasilah Shahabat Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo`a Sayyidina Umar: Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi kami (Shahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar kemudian diturunkan hujan”. (HR. Bukhari: 964)
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حَنِيْفٍ: - أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ اْلَبَصِر أَتَى اَلنَّبِيَّ فَقَالَ اُدْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَنِي . فَقَالَ ( إِنْ شِئْتَ أَخَّرْتُ لَكَ وَهُوَ خَيْرٌ . وَإِنْ ِشئْتَ دَعَوْتُ ) فَقَالَ اُدْعُهُ . فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَأَ فَيُحْسِنُ وُضُوَءهُ . وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ . وَيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ (الَّلهُمّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّ الَّرْحَمِة . يَا مُحَمَّدُ إِنِّي قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتَقْضِىَ . الَّلهُمّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ (رواه ابن ماجه: 3578).
Utsman bin Hanif berkata: Ada seorang laki-laki yang buta datang kepada Rasulullah , ia berkata: ‘Nabi, do`akanlah aku semoga Allah memberikan kesehatan padaku.’ Nabi berkata: ‘Jikalau kamu mau aku akan akhirkan .dan jika kamu mau aku do`akan kamu.’ Nabi berkata: ‘Aku ajari kamu do`a.’ Setelah itu Nabi memerintahkan padanya untuk wudlu dan menyempurnakan. Setelah itu langsung shalat dan mebaca do`a ini, ‘ya Allah, sungguh aku telah menghadapmu dan memohon kepadamu melalui perantara Muhammad Nabi rohmat, hai Muhammad aku telah menghadap Tuhanku melaluimu, aku memohon kepada tuhanku untuk memenuhi hajatku. Ya Allah, semoga engkau memberikan pertolongan kepada Muhammad untukku.’ (HR. Ibn Mâjah).
Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah seperti Nabi, para rasul dan shalihin, bukan berarti meminta kepada mereka, akan tetapi meminta supaya mereka ikut serta memohon kepada Allah , agar permohonan do`anya diterima Allah . Sebab, seluruhnya adalah hak Allah , seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
اللَهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا منعت (رواه البخاري: 5971)
“Ya Allah Tiada ada yang mencegahMu ketika mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau engkau mencegahnya.” (HR. Bukhari : 5971)
Dan firman Allah :
قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ, اَللهُ الصَّمَدُ (الاخلاص 1-2)
“Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat meminta.”
Dalam kitab al-Mu`jam al-Kabîr wal-awsath, al-Imam Thabrâni meriwayatkan sejarah Fâthimah binti As`ad ibunda Sayyidina Ali bin Abi Thâlib ra. ketika beliau wafat. Rasulullah yang menggali kuburan dan membuang tanahnya dengan tangan beliau. Maka setelaha selesai, Rasulullah masuk kedalam liang lahat dan berbaring sambil berdo`a:
اَللهُ الَّذِى يحُىِْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ لأُِ مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسْدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْ خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى فإنك اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّر عليها َأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْهَا اللحد هُوَ وَاْلعَبَّاسُ وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ
“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan, Dia yang hidup dan tidak mati. Ampunilah! Ibu saya Fathimah binti As`ad dan ajarkanlah hujjah kepadanya (jawaban ketika ditanya malaikat) serta luaskanlah kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya` sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih. Dan Rasulullah bertakbir empat kali dan ia (Rasulullah) bersama shahabat Abbas, Abu Bakar As-Shaddiq ra. memasukkan Fathimah binti As`ad ke dalam liang lahat.” (HR Thabrani) .
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari shahabat Anas. Begitu juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dari shahabat Jâbir, dan diriwayatkan oleh Ibn Abdul Barr dari shahabat Ibn Abbas.
Dengan demikian, bertawassul dengan berdo`a dan menggunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan orang-orang yang dekat kepada Allah jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Jadi, bertawassul bukan berarti meminta kepada yang dijadikan wasilah, akan tetapi memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do`a para pemohonnya. Selanjutnya, bertawassul dengan wasilah yang disenangi oleh Allah, atau berdo`a dengan menyebut sesuatu yang disenangi oleh Allah. Maka apa yang disenangi oleh Allah, seyogyanya disebut dalam do`a.
Pendapat Ulama tentang Tawassul
Setelah kita mengetahui bahwa tawassul di perbolehkan, sekarang kita menelaah beberapa pendapat ulama terkait dengan amaliah tawassul:
a. Dalam kitab al-Syarh al-Qowim dengan bertendensi argumen al-Hafidz Taqiyyuddin di kitab Syifa` al-Saqom di jelaskan, bahwa tawassul, istisyfa`, isti`anah, istighotsah, tawajjuh dan al-tajawwuh maknanya sama.
وَقَدْ قَالَ اَلْحَافِظُ تَقِيُّ الدِّيْنِ اَلُّسْبكِي فِي شِفاَءِ السَّقَامِ: اَلْاِسْتِشْفَاعُ وَالَّتوَسُّلُ وَالتَّوَجُّهُ وَالَّتجَوُّهُ وَالْاِسْتِغَاثَةُ وَالْاِسْتِعَانَةُ ِبَمَعْنًى وَاحِدٍ وَالتَقِيُّ الَسُّبْكِيُّ مُحَدِّثٌ حَافِظٌ فَقِيْهٌ لُغَوِيٌ كَمَا وَصَفَهُ بِذَلِكَ اَلسُّيُوْطِيُّ فِي الذَّيْلِ (الشرح القويم في حل الفاظ الصراط المستقيم ص|378).
Berkata Al hafidz Taqiyyuddin al Subki dalam kitab Syifa Al Saqom: “Meminta pertolongan,tawassul, tawajjuh, istighotsah, isti`anah menggunakan arti satu.” Imam Taqiyyudin al-subky adalah al-hafidz faqih ahli lughot seperti yang dijelaskan oleh al-Suyuthi dalam kitab al-Dzail (al-Syarh al-Qowim Fi Hilli Alfadi al-Shirot al-Mustaqim).
b. al-Imam Malik bin Anas
al-Imam Mâik bin Anas al-Ashbahi (95-179 H/713-795 ). Seorang mujtahid, pakar hadits dan pendiri madzhab Maliki menyuruh tawassul.
ِابْنُ حُمَيْدٍ قَالَ نَاظَرَ أَبُوْ جَعْفَرٍ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ مَاِلكًا فِي مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ لَهُ مَالِكٌ: يَا أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ لاَ تَرْفَعْ صَوْتَكَ فِي هَذَا اْلمَسْجِدِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى أَدَّبَ قَوْمًا فَقَالَ: لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ لا تَشْعُرُونَ )سورة الحجرات/49، الآية: 2(و مَدَحَ قَوْمًا فَقَالَ: إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِندَ رَسُولِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ )سورة الحجرات/49، الآية: 3 (وَذَمَّ قَوْمًا فَقَالَ: إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِن وَرَاء الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُون َ)سورة الحجرات/49، الآية: 4( وَ إِنَّ حُرْمَتَهُ كَحُرْمَتِهِ حَيًّا فَاسْتَكَانَ لهَاَ أَبُوْ جَعْفَرٍ وَقَالَ : يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ أَأَسْتَقْبِلُ اَلْقِبْلَةَ وَ أَدْعُوا أَمْ أَسْتَقْبِلُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ؟ فَقَالَ : وَ لِمَ تُصْرِفُ وَجْهَكَ عَنْهُ وَهُوَ وَسِيْلَتُكَ وَ وَسِيْلَةُ أَبِيْكَ آدمَ عليه السلام إِلىَ اللهِ تَعَالَى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ ؟ بَلْ اِسْتَقْبِلْهُ وَ اسْتَشْفَعْ بِهِ فَيَشْفَعُكَ اللهُ قَالَ اللهُ تعالى: وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ. فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا )سورة النساء/الآية: 64)(الشفا: فصل في تعظيم النبي بعد موته ج 2/ص 35).
“Ibnu Hamid berkata: Suatau ketika Abu Ja’far seorang Amirul Mu’minin berdebat dengan Imam Malik di masjid Rasulullah . Imam Malik berkata: “Wahai Amirul mu`minin, janganlah kamu keraskan suaramu di masjid ini, sebab Allah telah memberikan tatacara. Allah berfirman: ‘Janganlah kamu sekalian mengeraskan suara diatas suaranya Nabi dan janganlah kamu keraskan pembicaraanmu seperti kamu berbicara dengan selain Nabi, niscaya amal kamu akan lebur dan kamu tidak mengetahuinya. (QS. Al-Hujurat: 2). Allah juga memuji. ‘Sesungguhnya orang orang yang mengecilkan suaranya di samping Nabi mereka adalah orang-orang yang mendapatkan cobaan dari Allah supaya bertakwa dan Allah memberikan untuknya pengampunan dan pahala yang agung.’ (QS. Al-Hujurat :3). Allah juga mencela: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu dari balik tirai kebanyakan dari mereka tidak mau berfikir’ (QS. Al-Hujurat: 4). Sesungguhnya kemuliaan Nabi ketika wafat sama seperti halnya waktu beliau masih hidup.lantas Abu Ja’far diam dan berkata ‘Wahai Malik apakah aku harus menghadap kiblat dan berdo`a atau aku menghadap Rasulullah ?’ Imam Malik berkata: ‘Lantas kenapa lamu memalingkan wajahmu dari Nabi, padahal beliau adalah perantaramu dan perantara bapakmu (Nabi Adam as.) kelak di hari Qiyamat ?’ Kamu menghadaplah kepada Nabi dan mintalah pertolongan padanya, maka Allah akan memberikan pertolongan padamu.” (QS. An-Nisa`: 64) (al-Syifa 2: 35).
c. al-Imam al-Syafi`i.
Al-Imam Abu Abdillah bin Idrîs al-Syâfi’i(150-204 H./767-819). Seorang mujtahid, pendiri madzhab Syafi`i panutan Ahlissunnah Wal-Jama`ah juga bertawassul. Beliau berkata:
عن عَلِيٍّ بْنِ مَيْمُوْن قَالَ سَمِعْتُ اَلَّشافِعِيَّ يَقُوْلُ اِنِّي لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهُ فِي كُلِّ يَوْمٍ يَعْنِي زَائِرًا فَإِذَا عَرِضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسََأْلْتُ اللهَ تَعَالَى اَلْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعَدُ عَنِّي حَتَّى تُقْضَى (تاريخ بغداد - ج 1 / ص 123).
Ali bin Maimun berkata: ”Aku mendengar al-Syafi’i berkata sesungguhnya aku ber-tabarruk dengan (perantara) Imam Abi Hanifah dan aku ziarah ke makam beliau setiap hari. Apabila aku mempunyai suatu hajat maka aku shalat dua raka`at, ziarah ke makam beliau dan di dekat makam beliau aku memohon pada Allah atas hajatku, maka hajatku terkabul sebelum aku pergi jauh dari makam beliau (terkabul dengan cepat).” (Tarikh al-Baghdad 1: 123).
d. al-Imam Ahmad Ibn Hanbal.
al-Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/781-855 M). Seorang pakar hadits, mujtahid, ahli fiqih, pendiri madzhab Hanbal yang juga disanjung oleh orang Wahhabi. Beliau juga melakukan tawassul.
سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمُسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَيَتَبَرَّكُ ِبَمِّسِه وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِاْلقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ اَلتَّقَرُّبَ إِلىَ اللهِ جَلَّ وَعَزًَّ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ ( العلل ومعرفة الرجال لاحمد ابن حنبل 2/92).
“Aku bertanya kepada ayahanda tentang seorang laki-laki yang mengusap mimbar Nabi yang bermaksud tabarruk dengan mengusapnya itu. Ia mencium mimbar dan melakukan hal yang sama terhadap makam Nabi atau yang seperti ini dengan tujuan bertaqorub (mendekatkan diri kepada Allah ). beliau menjawab boleh.” (al-Ilal wa Ma’rifat al-Rijâl li Ahmad Ibn Hambal Juz 2. Halaman 492).
e. al-Imam Abu Hanîfah
al-Imam Abu Hanîfah (80-150 H/699-767). Seorang mujtahid besar, pendiri madzhab Hanafi beliau juga mengakui kebolehan Tawassul.
يَا اَكْرَمَ الثَّقَلَيْنِ يَا كَنْزَ الْوَرَي جُدْ لِي بِجُوْدِكَ وَارْضِنِي بِرِضَاكَ
اَنَا طَامِعٌ فِي اْلجُوْدِمِنْكَ وَلَمْ يِكُنْ لِأَبِي حَنِيْفَةَ فِي اْلاَنَامِ سِوَاكَ
Wahai yang terkemuka diantara jin dan manusia dan sebaik-baiknya mahluk berilah aku kemurahan-mu dan ridloilah aku dengan ridla-mu
Aku merindukan kemurahan dari-mu, engkaulah satu satunya harapan Abu Hanifah.
Setelah kita mengetahui penjelasan tawassul baik dari al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat ulama, kiranya kita sudah bisa mengerti dan memahami bahwa amaliah berupa tawassul tidak asal-asalan dan memang berdasarkan dalil-dalil shahih. Berbeda dengan klaim Afrokhi yang dalam bukunya halaman 312 mengatakan bahwa: “Amaliah ini tidak ditemukan dalam kitabullah dan al-Sunnah serta shahabat, akan tetapi dari kitab suci orang Hindu”. Naudzubillah min dzalik. Semoga Allah mengampuninya.
Macam-Macam Tawassul
Setelah kita mengetahui penjelasan tawassul dan komentar para ulama, kiranya bisa kita tarik kesimpulan bahwa tawassul terbagi menjadi:
Orang hidup bertawassul kepada makhluk yang belum di lahirkan di muka bumi.
Yaitu ketika Nabi adam as. berdo`a kepada Allah meminta ampunan atas dosanya dengan bertawassul kepada Nabi Muhammad . Sesuai hadits Imam Hakim Abu Abdillah dari umar ra.
Orang hidup bertawassul dengan orang hidup.
Pada zaman khalifah Umar bin Khatab ra. pernah terjadi kekeringan air, tidak ada jalan selain melakukan shalat istisqa meminta hujan kepada Allah . Setelah selesai melakukan shalat istisqa, Sayyidina Umar ra. berdo`a dengan bertawassul kepada paman Nabi yang masih hidup yaitu Sayyidina Abbas. Kadang-kadang kejadian ini oleh sebagian orang dibuat sebuah kesimpulan yang tidak benar, yaitu kenapa Sayyidina Umar bertawassul kepada Sayyidina Abbas, bukan kepada Nabiyyina Muhammad ? Maksud mereka (sebagian orang yang mengklaim) menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad telah meninggal dan tidak dapat memberikan apa-apa kepada kita, makanya Sayyidina Umar bertawassul pada Sayyidina Abbas.
Suatu jawaban yang perlu di luruskan dan di klarifikasi. Pertama, supaya orang lain bisa mencontoh apa yang di lakukan oleh Sayyidina Umar dengan bertawassul kepada shalihin. Kedua, Sayyidina Abbas di jadikan tawassul oleh Sayyidina Umar di karenakan beliau adalah kerabat Nabi yang paling tua. Dalam sebuah keterangan-Allah malu (enggan) untuk tidak mengabulkan do`a orang yang rambutnya telah di penuhi warna putih. Bagaimana dengan paman Nabi yang yang sudah berambut putih?. Artinya pada saat itu Sayyidina Abbas mempunyai dua keutamaan, salain beliau paman Nabiyyuna, beliau adalah dzurriyah yang paling tua . Dan perlu di garis bawahi bahwa tawassul hanya boleh kepada sesuatu yang tinggi derajatnya di sisi Allah, termasuk shahabat Nabi.
Orang hidup bertawassul kepada orang yang telah mati.
Suatu ketika pada zaman Sayyidina Umar terjadi musim paceklik, kemudian lelaki yang bernama Bilal bin al-Harits datang pada kuburan Nabi dia berkata: “Wahai Rasulullah, mintalah hujan untuk umatmu kerana mereka sedang dalam kerusaan”, kemudian dalam mipinya ada lelaki yang datang kepadanya dan berkata: datanglah pada Umar dan katakan: “Sesungguhya engkau semua akan di turuni hujan”. Kemudian Bilal bin al Harits menyampaikan pada Umar, maka Umar berkata: ”Aku tidak mengabaikan sesuatu kecuali aku memang tidak mampu”.
Masih banyak perkataan shahabat Nabi yang memperbolehkan orang hidup bertawassul kepada Nabi atau shalihin yang telah wafat, seperti di saat penduduk madinah tertimpa kekeringan yang dahsyat, mereka melapor pada ‘Aisyah ra. Beliau berkata: ”Lihatlah kuburannya Nabi . Maka buatlah engkau semua saluran (perantara) dari kuburan Nabi sampai ke langit hingga tidak ada atap (penghalang) antarannya dan langit”. Kemudian mereka melakukan dan turunlah hujan hingga tumbuh-tumbuhan hijau dan unta-unta gemuk-gemuk. Dengan ini jelas pendapat Afrokhi dalam bukunya halaman 317 mengatakan bahwa Tidak ditemukanya dasar baik Sunnah maupun Kitab bahwa roh mayit dapat berbuat aktif membantu segenap yang masih hidup.
Entah bagaimana Afrokhi yang mengharamkan tawassul dengan amwat (benda mati) bahkan sampai mengkafirkan orang yang melakukannya. Padahal shahabat yang sudah tidak diragukan lagi kedekatannya pada Nabi juga melakukan, mendiamkan dan menyuruh orang lain untuk bertawassul pada Nabiyyuna Muhammad .
Orang yang telah mati pada orang mati
Sebagian dari keistemewaan Nabi Muhammad bisa memberi Syafa`at kepada umatnya kelak di hari kiamat. Padahal semua Nabi mulai Adam sampai Nabi Isa as. tidak mampu memberikan Syafa`at (pertolongan) kepada ummatnya. Karena para Nabi sebelum Nabi Muhammad merasa pernah melakukan kesalahan dosa (ketika sebelum menjadi Nabi). Tidak usah terlalu jauh membahas yang satu ini. Setiap orang yang berpidato, dalam mukaddimahnya, urutan yang kedua setelah mengungkapakan rasa syukur ke hadirat Allah pasti ucapan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad , dengan harapan kita termasuk umatnya yang mendapatkan Syafa`at di hari kiamat.
Tawassul dengan anbiya’ dan shalihin
Tidak perlu diperdebatkan bahwasanya anbiya’ dan orang-orang shalih adalah yang mempunyai derajat di sisi allah, sebagaimana dalam al-Qur`an:
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ (البقرة: 253).
”Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.” (QS. al-Baqoroh: 253).
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ (الحج: 30).
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. (QS. al-Haj: 30).
Dalam pembahasan yang telah dijelaskan diatas telah kami singgung diatas bahwasanya tawassul hanya boleh dengan sesuatu yang mempunyai derajat di sisi Allah, kenapa? Karena yang dimaksud adalah ketika kita menyebut nama, riwayat hidup, karomah dan lain sebagainya yang berkoelasi dengan haliyah para anbiya` dan orang-orang shalih, pintu langit akan terbuka, rahmat serta barokah akan di turunkan oleh Allah . Imam Ma`ruf berkata: ”Rahmat akan turun ketika orang-orang shalih disebut”. Dan dilain kesempatan beliau mengatakan ”adalah ketenangan yang turun ketika shalihin disebut-subut”.
Yang perlu di luruskan adalah, mekanisme bertawassul yang benar. Nabi Muhammad pernah mengucapkan salam ketika lewat di kuburan, ya kita ikuti, dan lain sebagainya seperti sewaktu berdo`a dengan bentuk
الَّلهُمَّ اِنَّىِ أََتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِحَقِّ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم اَنْ تَقْضِيَ حَاجَتِنَا……..
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pada-Mu dan bertawassul dengan haknya Nabi Muhammad supaya Engkau penuhi hajatku……”.
Tawassul dengan Wali Allah
Tawassul dengan walinya Allah , artinya menjadikan para kekasih Allah sebagai perantara menuju kepada Allah dalam mencapai hajat, karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai lambang kebaikan, barokah, dan pembuka kunci rahmat. Pada hakikatnya, orang yang bertawassul tidak meminta hajatnya dikabulkan kecuali kepada Allah dan tetap berkeyakinan bahwa Allah-lah yang Maha Memberi dan Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya. Dalam hadits Qudsi disebutkan:
وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أحْبَبْتُهُ ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ(2) بِهَا ، وَرجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإنْ سَألَنِي لأعطينه ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لأعِيذَنَّهُ (رواه البخاري: 6137).
“Hambaku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku, maka aku berinya, dan jika meminta perlindungan, maka Aku berinya perlindungan.” (RA. Bukhari 6137).
Kesimpulan
Dengan mengacu pada pembahasan tawassul yang telah kami paparkan diatas kiranya dapat kita simpulkan antara lain:
a. Bertawassul merupakan amaliah yang telah diperbolehkan dengan al-Dzawât al-Fadlîlah baik kepada Nabi, Wali, orang Shalih atau Kyai.
b. Amaliah tawassul yang biasa dilakukan oleh umat Islam terlebih warga NU sesuai dengan al-Qur`an dan al-Sunnah.
c. Akusasi yang telah dikatakan Afrokhi kepada warga Nahdliyyin terkait amaliah berupa tawassul tidak dibenarkan dan merupakan disinformasi besar.
d. Pengharaman tawassul dan istighosah oleh Afrokhi hanyalah manipulasi untuk mensuskseskan tujuanya dalam menyebarkan fitnah Wahhabisme.
Kiranya dalam pengkajian seputar tawassul sudah cukup dan jelas, semoga apa yang telah kami paparkan memberikan manfaat bagi kita. Tapi, yang memberi manfaat tetap Allah jangan keliru, nanti sama kayak Afrokhi.

Komentar0